4/23/2013

Analisis Wacana Berita Perspektif Foucault


KELOMPOK VI
RAUDATUL JANAH (A1B110255)

Transkripsi

Venna Melinda 7 Kali Ditalak Suami
KAPANLAGI.COM - Saat masih tinggal satu atap dengan Ivan Fadilla, Venna Melinda mengaku telah ditalak sebanyak tujuh kali. Perempuan kelahiran 20 Juli 1972 itu mengungkapkan, ditalak pertama kali pada 4 Januari 2013.
"Saya ditalak tanggal 4 Januari, dalam satu hari itu saya ditalak sebanyak tujuh kali mulai jam 01.00 dini hari," ujar Venna usai persidangan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Senin (15/4).
Tidak berhenti sampai di situ, semenjak ditalak, Ivan tidak lagi memberi Venna nafkah lahir maupun batin. "Semenjak tanggal 4 Januari saya sudah tak diberi nafkah," katanya.
Dalam gugatan cerainya, Venna tidak sedikitpun meminta harta gono-gini pada Ivan. "Anak-anak saya tidak menuntut itu. Saya tidak menuntut nafkah berupa materi, saya hanya menuntut status saya yang tidak jelas," tandasnya. (kpl/aal/rea/dar)


Hasil Analisis Wacana Berita

1.      Produksi wacana berita
Berita tersebut diproduksi KAPANLAGI.COM.

2.      Wacana yang terjadi di masyarakat
 Venna Melinda mengaku ditalak oleh Ivan Fadilla sebanyak 7 kali dan semenjak ditalak, Ivan tidak lagi memberi Venna nafkah lahir maupun batin. Venna menggugat cerai kepada Ivan dan tidak menuntut harta gono-gini.

3.      Wacana dominan dan wacana terpinggirkan
Dalam pemberitaan tersebut, pemberitaan tentang Venna Melinda lebih dominan, sedangkan Ivan Fadilla terpinggirkan.

4.      Pembatasan wacana berita
Pandangan dibatasi dengan hanya memberitakan tentang pernyataan Venna Melinda saja, sedangkan pernyataan tentang Ivan Fadilla tidak ada diberitakan sama sekali.

5.      Efek setelah wacana berita dimunculkan
Efek setelah wacana tersebut dimunculkan dimasyarakat, masyarakat beranggapan bahwa Ivan adalah suami yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab karena dalam satu hari menalak Venna tujuh kali dan tidak lagi memberi nafkah lahir batin.

4/07/2013

PERSPEKTIF FOUCAULT


Kelompok 6:
Raudatul Janah (A1B110255)
Noormarifah Kasfi (A1B109





PERSPEKTIF FOUCAULT


          Konsep mengenai wacana mutakhir diperkenalkan oleh Michael Foucault, sehingga perlu diuraikan beberapa pokok pikiran dari Foucault mengenai wacana. Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
          Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan  kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain.  Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Kalau banyak teoretisi lebih memusatkan perhatian pada negara, maka Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu, subjek yang kecil. Menurut Foucault, seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam.
          Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khayalak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran trtentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.
          Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Foucault menolak pandangan yang menyatakan kekuasaan sebagai subjek yang berkuasa (raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki) dan subjek yang dianggap melarang, membatasi, atau menindas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereprodusir realitas, mereprodusir lingkup-lingkup objek-objek, dan ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku lebihdari secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya.
          Menurut Staple, apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin, normalisasi, dan kontrol tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan dikontrol lewat sebuah kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi lewat sebuah mekanisme, aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan masyarakat agar terkontrol dan disiplin. Apa yang diuraikan oleh Foucault mengenai normalisasi dan disiplin ini menjadi praktik kehidupan modern. Kekuasaan dalam masyarakat modern terutama tidak bekerja secara terang-terangan dengan adanya raja yang memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur kehidupan seseorang. Kekuasaan justru bekerja secara tidak terlihat, tanpa disadari dengan praktik disiplinisasi. Teknik disiplinisasi ini diantaranya melalui penetapan aturan dan berbagai prosedur kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang menghasilkan keteraturan. Kontrol  juga dilakukan dengan memberi ganjaran bagi yang mengikuti dan hukuman bagi yang melanggar, bahkan kontrol mental lewat aturan moral dan agama. Lewat disiplin tersebut, individu modern dikontrol tanpa dia sadari. Semakin dia merasa bebas, sesungguhya semakin ia masuk dalam perangkap kekuasaan yang mengontrol dan mengatur dirinya. Kehidupan di kantor, di jalan, di rumah sakit, sekolah, semuanya menggambarkan keinginan akan control dan disiplin tersebut. Misalnya, kehidupan di sekolah. Di sini tidak ada kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, guru tidak bisa mengawasi murid-muridnya satu per satu sepanjang hari sebagai polisi moral. Akan tetapi, kehidupan di sekolah itu sendiri dikontrol lewat serangkaian mekanisme: ujian untuk menguji penangkapan murid akan mata pelajaran yang diberikan, mekanisme kenaikan kelas untuk mengukur keberhasilan murid, dan rangking untuk melihat tingkat kepintaran murid. Semua mekanisme itu membentuk jaring kekuasaan yang memaksa seorang murid mengikuti aturan sehingga menjadi terkontrol, patuh, dan disiplin. Kalau  ia ingin naik kelas, ia harus belajar, harus masuk sekian kali, dan sebagainya. Sebuah mekanisme yang sifatnya menyentuh psikis bukan pengawasan dalam arti fisik yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus. Di sini, ruang kelas itu sendiri menjadi sebuah jaring kekuasaan yang menyebarkan wacananya terus-menerus. Kepintaran seseorang diukur dari raport yang dia terima enam bulan sekali, kalau buruk dia tidak akan naik kelas, dan kalau tidak naik kelas ia akan dicap bodoh dan seterusnya.
          Hal yang sama terjadi di ruang-ruang kerja. Meskipun kekuasaan dan wewenang tertinggi ada pada direktur, bukan berarti ia akan menjadi polisi yang akan mengawasi pekerjanya terus-menerus, 24 jam. Pengawasan dan kontrol tidak berlangsung dalam cara dan sifat semacam itu, tetapi lewat serangkaian mekanisme. Jenjang karir, mekanisme tunjangan, gaji, absensi dan lainnya, yang pada dasarnya adalah mekanisme yang mengontrol secara terus menerus keadaan psikis pekerja. Mekanisme tersebut pada dasarnya juga membentuk individu yang diinginkan. Pekerja yang baik adalah masuk kerja dari sekian sampai jam sekian, produktif, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tidak pernah bolos dan sebagainya. Mekanisme, seperti jenjang karir, mengontrol dan mengidentifikasi mana pekerja yang bagus dan berprestasi sehingga perlu diberi penghargaan, dan mana pekerja yang tidak bagus sehingga perlu dihukum (dengan tidak menaikkan pangkat atau gaji). Wacana seperti itu membentuk individu dan mengklasifikasikannya dalam pekerja yang baik dan pekerja yang tidak baik.

A.      Produksi Wacana
          Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan, tetapi juga struktur dan tata aturan dari wacana. Sebelum membahas mengenai struktur diskursif, perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dengan kenyataan. Realitas dipahami di sini sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana. Realitas itu sendiri menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Kita mempersepsi dan bagaimana  kita menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif.  Struktur diskursif ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai system yang abstrak dan tertutup.
          Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar dan yang lain tidak. Ini seperti kalau kita mendengar kata film india, maka yang terbayang adalah film dengan nyanyian sambil menari, dengan tokoh utama yang mengalahkan musuh birokrat atau pejabat pemerintah dan kepolisian yang korup. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Atau dalam bahasa Macdonell, wacana itu merupakan suatu arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
          Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek.  Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah. Contoh yang paling dramatis barangkali adalah bagaimana struktur diskursif yang dibangun tentang PKI sebagai partai terlarang. Pada masa orde lama partai ini adalah partai resmi bahkan masuk dalam lima besar partai yang memperoleh suara terbanyak. Di masa orde baru, PKI justru menjadi partai terlarang dengan berbagai keburukannya. Tidak ada yang berubah dari PKI ini (sebagai objek), tetapi yang membuat ia terlarang adalah struktur diskursif yang secara sengaja dibangun orde baru bahwa PKI ini partai yang suka memberontak dan anti-tuhan. Wacana semacam ini membatasi lapangan pandangan sehingga ketika PKI dibicarakan yang muncul adalah kategori PKI sebagai partai pemberontak dan anti-Tuhan, bukan yang lain.
          Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu  dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, kita mengkategorisasikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut kita sukar keluar dari struktur diskursif  yang terbentuk. Struktur diskursif  tersebut adalah bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir. Melalui episteme itu, kita mengerti dan memahami suatu objek dengan pernyataan dan pandangan tertentu, dan tidak yang lain. Unit-unit diskursif ini mengasumsikan koherensi dan kohesivitas sebagai suatu ide.  Sehingga kita bisa mengatakan sebagai “pandangan orde baru” atau “pandangan orde lama”, dan sebagainya.
          Misalnya, struktur diskursif  yang dibentuk oleh orde baru. Salah satu yang kuat adalah normalisasi. Dalam praktik diskursif yang dibangun orde baru, agar pembangunan dapat berjalan maka keadaan harus normal, stabil, yang memungkinkan terjadinya pembangunan. Salah satu aspek yang harus ditata adalah partai politik, karena partai politik adalah sumber konflik. Partai politik dalam sejarahnya selalu egois, lebih mementingkan kepentingan partainya, sehingga pemerintahan tidak dapa berjalan karena selalu ganti pemerintahan. Agar tidak terjadi demikian, sumber konflik itu dibuat normal, ditata kembali sehingga partai politik tidak menjadi penghalang kelangsungan pembangunan. Partai politik harus disederhanakan, dan dibatasi geraknya. Struktur diskursif inilah yang dibangun oleh orde baru dan disebarkan lewat pernyataan pidato dari pejabat pusat sampai daerah, lewat buku-buku ajar sekolah, dan sebagainya. Bagaimana struktur diskursif ini bekerja dapat dilihat dari bgaimana  cara berpikir kita didikte agar berpikir dan berpandangan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif, bukan dengan yang lain. Kalau pemerintah menghendaki seseorang menjadi pemimpin partai tertentu, tindakan tersebut tidak dilihat sebagai intervensi dan otoriterianisme tetapi upaya menata kehidupan politik.

B.       Wacana terpinggirkan

            Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macama wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged).
            Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena ia memeberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi  hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri,  menciptakan rezim  kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itu, dalam analisis wacana kita perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana repreduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen dalam masyarakat. Misalnya  kita akan mengadakan analisis mengenai bagaimana wacana komunisme ditampilkan dalam pemberitaan media. Pertama kali harus kita lakukan adalah melihat bagaimana produksi kebenaran mengenai peristiwa komunisme itu dari berbagai kelompok. Yang dilihat dalam analisis wacana bukanlah apa yang sebenarnya terjadi, tetapi bagaimana setiap kelompok, terutama yang terutama yang berkuasa, memproduksi kebenaran atas suatu wacana. Produksi kebenaran wacana itu terutama akan disebarkan dengan berbagai organ yang dia punyai.
            Dalam produksi makna ini, kadang-kadang kita secara tidak sadar ikut memproduksi wacana yang tersedia. Misalnya mengenai debat kehadiran pasukan Interfet di Timor Timur pasca-jajak pendapat. Wacan yang berkembang (dan dikembangkan) adalah nasionalisme dan tidak nasionalisme kehadiran pasukan asing tersebut tidak perlu hadir di Timor Timur. Disatu sisi ada pandangan pasukan asing tersebut tidak perlu hadir di Timor Timur. Kehadiran pasukan asing tersebut menyinggung harga diri bangsa Indonesia, karena menganggap militer Indonesia tidak mampu menyelesaikan masalah. Pasukan asing tersebut juga mengyinggung harga diri bangsa Indonesia karena sampai saat itu Timor Timur masih wilayah sah Indonesia. Disisi lain ada pandangan yang menyatakan pasukan asing tersebut boleh dan harus hadir di Indonesia. Karena masalah Timor Timur bukanlah masalah murni Indonesia, tetapi sudah menjadi masalah internasional. Oleh karena itu, memakai klaim nasionalisme tidak bisa dilakukan, karena keamanan Tiomr Timur pasca-jajak pendapat juga menjadi masalah onternasional.
            Kalau dilihat perdebatan mengenai perlu atau tidaknya kehadiran pasukan asing tersebut, baik yang pro maupun kontra, keduanya didasarkan pada wacana yang bersumber dari nasionalisme. Yang setuju menggunakan klaim tersebut, demikian juga yang kontra. Secara tidak sengaja dan tanpa disadari, partisipan dari wacana ini termasuk wacana yang mengemuka didominasi oleh wacana nasionalistik. Medan pikir dan wacana kita seakan dibatasi hanya melihat kehadiran pasukan Interfet tersebut pada masalah nasionalisme. Apa wacana yang terpendam atau terpinggirkan dari wacana mengenai kehadiran tentara In terfet ini? Pertama, yang paling utama adalah masalah kemanusiaan. Tidak banyak dikemukakan di sini adalah kekerasan yang menyelimuti Timor Timur. Puluhan orang yang meninggal, rumah yang terbakar, dan ribuan pengungsi adalah wacana yang seharusnya juga bisa dikemukakan sebagai argumentasi perlu tidaknya kehadiran pasukan asing di Timor Timur tersebut.
            Proses terpinggirkannya wacana  dalam proses pmberitaan ini membawa beberapa implikasi. Pertama khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu. Rasialisme muncul lewat wacana yang berkembang yang menganggap orang kulit hitam sebagai warga kelas dua, identik dengan  kemalasan, kriminalitas, dan obat bius. Wanita juga termajinalkan lewat terbentuknya wacana dominan bahwa mereka lemah, di bawah laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya.

Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang.

3/26/2013

Analogi Kartun Upin dan Ipin ‘Terawih’


Raudatul Janah NIM A1B110255
Ifah

Transkripsi Kartun Upin dan Ipin ‘Terawih’

Upin                : Lepas berbuka hari pertama tu kita orang tertidur.
Ipin                  : Tak pergi surau pulau tu. Ish... ish... ish...
Upin                : Tapi, hari kedue.
Ipin                  : Kita orang tertidur juge...
Upin                : Ssttt... kau ini janganlah beritahu...
Ipin                  : Hmm...
Upin                : Besoknya kita pergi kan Ipin kan?
Ipin                  : Haa...betul betul betul.
***
Upin                : Kak ros, cepatlah! Kita orang ndak pergi sembahyang tewarih nanti?
Kak Ros          : Kejaap.
Upik                : Uuhlah bersoleklah tu.
Ipin                  : Eh betul betul betul. Opa, sembahyang tewarih ni ape?
Opa                 : Iish, terawih. Sembahyang terawih ni ade bulan puasa aje. Siapa rajin puase banyak pahala puasa die. Paham?
Ipin                  : O...macam tu...
Upin                : E...e...mh. Wah lawasnya ka?
Kak Ros          : I...h
Ipin                  : O...ow. Ha..ha..ha... (Tertawa)
Opa                 : Ha.. kamu berdua jangan buat bising masa di surau nanti, ye?
Upin dan Ipin  : Ha..ha..ha... (mengangkat jempol dan menganggukkan kepala)
Kak Ros          : Kalau orang bising cakeplah... (sambil mengangkat telapak tangan)
Opa                 : Ha..jum, dah ndak masuk waktu ni.
***
Upin dan Ipin  : Wah ramainya orang.
Fizi                  : Upin... Ipin... Hai...
Upin dan Ipin  : Heh... Fizi dan Ehsan pun ade.
Upin                : Waah banyaknya duit! Kayelah kau.
Ehsan              : Haa... itulah aku. 1 hari puase dapet singgit.
Upin                : Ih apa kita tak dapat pun Ipin?
Ipin                  : Eehlah, padahal ita puase penuh.
Fizi                  : Situ orang puasa penuh? Aku puasa setengah hari je... dapat makan.
Ipin                  : Bolehkeh cam tu?
Fizi                  : Dahlah, yuk kita main?
Upin                : Oke, talilat dulu.
Semua             : Lat talilat talilaaataaam plung.
(Kak Ros muncul dan mengangkat telapak tangan)
Plak...plak...
***
Upin                : Main lagi kah Ipin?
Ipin                  : Sst... lagi sembahyang mana boleh cakap.
Imam               : Assalamualaikum wa rahmatullah, assalamualaikum wa rahmatullah
Atuk                : Eh eh eh
Ipin                  : Hmm...
Upin                : Atuk ni tak sembahyeng keh?
Atuk                : A...lah sembahyeng sunet aje.
Upin                : Abis orang lain sembahyeng?
Ipin                  : A..yo dose.
Atuk                : Isht budak-budak ni, sana kau pergi main tempat lain. Hemhh!
Upin dan Ipin  : Hahaha (tertawa)
***
Upin dan Ipin  : Nak main, nak main.
Fizi                  : Ehsan...cepatlah Ehsan. O...ikut tengah main keh?
Ehsan              : I...h.
Fizi                  : A...lah Ehsan ni. Hahaha aku main sorang.
Ehsan              : Bosenleh main ni, masa aku je yang jadi.
Ipin                  : Abis tu kita nak main ape?
Upin                : Ha... kita main em... ha...
***
Opa                 : Ya Alla.....h.
Upin                : Giliranku giliranku.
Kak Ros          : I.....h (mengepal tangan)
***
Upin                : Teruk kita orang dengan kak Ros semalam tu.
Ipin                  : Teruk teruk teruk.
Upin                : Ha... lepas semalam tu kita orang tak main dah, kita orang sembahyang betul betul.
Ipin                  : Betul betul.


Analogi Kartun Upin dan Ipin ‘Terawih’

Upin                : Lepas berbuka hari pertama tu kita orang tertidur.
Ipin                  : Tak pergi surau pulau tu. Ish... ish... ish...
Upin                : Tapi, hari kedue.
Ipin                  : Kita orang tertidur juge...
Upin                : Ssttt... kau ini janganlah beritahu...
Ipin                  : Hmm...
Upin                : Besoknya kita pergi kan Ipin kan?
Ipin                  : Haa...betul betul betul.
Pada percakapan di atas, analogi terdapat pada kalimat yang bergaris bawah. Menginformasikan bahwa pada hari pertama mereka tertidur, tertidur juga pada hari kedua, dan besoknya mereka pergi ke Surau.

Upin                : Main lagi kah Ipin?
Ipin                  : Sst... lagi sembahyang mana boleh cakap.
Pada percakapan di atas, analogi terdapat pada kalimat yang bergaris bawah. Menginformasikan bahwa upin menanyakan apakah ingin bermain lagi.

Ehsan              : Bosenleh main ni, masa aku je yang jadi.
Ipin                  : Abis tu kita nak main ape?
Pada percakapan di atas, analogi terdapat pada kalimat yang bergaris bawah. Menginformasikan bahwa Ipin menanyakan ingin main apalagi selain kejar-kejaran.

Upin                : Teruk kita orang dengan kak Ros semalam tu.
Ipin                  : Teruk teruk teruk.
Upin                : Ha... lepas semalam tu kita orang tak main dah, kita orang sembahyang betul betul.
Pada percakapan di atas, analogi terdapat pada kalimat yang bergaris bawah. Menginformasikan bahwa mereka tidak lagi bermain dan sembahyang dengan benar.