Kelompok 6:
Raudatul Janah (A1B110255)
Noormarifah Kasfi (A1B109
PERSPEKTIF FOUCAULT
Konsep mengenai wacana mutakhir diperkenalkan oleh Michael
Foucault, sehingga perlu diuraikan beberapa pokok pikiran dari Foucault
mengenai wacana. Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai
serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang
memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi
karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk
dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak
tertentu.
Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai
hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli
lain. Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai
dalam term “kepemilikan”, di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan
tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam
suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan
satu sama lain. Kalau banyak teoretisi lebih memusatkan perhatian pada negara,
maka Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu, subjek yang kecil.
Menurut Foucault, seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung di
mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem
regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama
lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari
luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari
dalam.
Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan
pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut
Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Hampir
tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran.
Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi
pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir
pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada
pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan.
Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan
penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena
setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan
wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan
tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak
dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang
abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan
memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khayalak digiring untuk mengikuti
kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu
berpretensi menghasilkan rezim kebenaran trtentu yang disebarkan lewat wacana
yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama
melalui normalisasi dan regulasi. Foucault menolak pandangan yang menyatakan
kekuasaan sebagai subjek yang berkuasa (raja, negara, pemerintah, ayah,
laki-laki) dan subjek yang dianggap melarang, membatasi, atau menindas. Menurut
Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara
negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa
mereprodusir realitas, mereprodusir lingkup-lingkup objek-objek, dan
ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan,
melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang
disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi
dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan
Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk
kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian
perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan
perilaku lebihdari secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi. Jadi
khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan
fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara,
dan sebagainya.
Menurut Staple, apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin,
normalisasi, dan kontrol tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern atau
kapitalisme. Dalam kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan
dikontrol lewat sebuah kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi
lewat sebuah mekanisme, aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan
masyarakat agar terkontrol dan disiplin. Apa yang diuraikan oleh Foucault
mengenai normalisasi dan disiplin ini menjadi praktik kehidupan modern.
Kekuasaan dalam masyarakat modern terutama tidak bekerja secara terang-terangan
dengan adanya raja yang memerintah atau adanya otoritas individual yang
berkuasa dan mengatur kehidupan seseorang. Kekuasaan justru bekerja secara
tidak terlihat, tanpa disadari dengan praktik disiplinisasi. Teknik
disiplinisasi ini diantaranya melalui penetapan aturan dan berbagai prosedur
kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang menghasilkan
keteraturan. Kontrol juga dilakukan
dengan memberi ganjaran bagi yang mengikuti dan hukuman bagi yang melanggar,
bahkan kontrol mental lewat aturan moral dan agama. Lewat disiplin tersebut,
individu modern dikontrol tanpa dia sadari. Semakin dia merasa bebas,
sesungguhya semakin ia masuk dalam perangkap kekuasaan yang mengontrol dan
mengatur dirinya. Kehidupan di kantor, di jalan, di rumah sakit, sekolah,
semuanya menggambarkan keinginan akan control dan disiplin tersebut. Misalnya,
kehidupan di sekolah. Di sini tidak ada kekuasaan yang sifatnya represif dan
tunggal, guru tidak bisa mengawasi murid-muridnya satu per satu sepanjang hari
sebagai polisi moral. Akan tetapi, kehidupan di sekolah itu sendiri dikontrol
lewat serangkaian mekanisme: ujian untuk menguji penangkapan murid akan mata
pelajaran yang diberikan, mekanisme kenaikan kelas untuk mengukur keberhasilan
murid, dan rangking untuk melihat tingkat kepintaran murid. Semua mekanisme itu
membentuk jaring kekuasaan yang memaksa seorang murid mengikuti aturan sehingga
menjadi terkontrol, patuh, dan disiplin. Kalau
ia ingin naik kelas, ia harus belajar, harus masuk sekian kali, dan
sebagainya. Sebuah mekanisme yang sifatnya menyentuh psikis bukan pengawasan
dalam arti fisik yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus. Di sini, ruang
kelas itu sendiri menjadi sebuah jaring kekuasaan yang menyebarkan wacananya
terus-menerus. Kepintaran seseorang diukur dari raport yang dia terima enam
bulan sekali, kalau buruk dia tidak akan naik kelas, dan kalau tidak naik kelas
ia akan dicap bodoh dan seterusnya.
Hal yang sama terjadi di ruang-ruang kerja. Meskipun kekuasaan dan
wewenang tertinggi ada pada direktur, bukan berarti ia akan menjadi polisi yang
akan mengawasi pekerjanya terus-menerus, 24 jam. Pengawasan dan kontrol tidak
berlangsung dalam cara dan sifat semacam itu, tetapi lewat serangkaian
mekanisme. Jenjang karir, mekanisme tunjangan, gaji, absensi dan lainnya, yang
pada dasarnya adalah mekanisme yang mengontrol secara terus menerus keadaan
psikis pekerja. Mekanisme tersebut pada dasarnya juga membentuk individu yang
diinginkan. Pekerja yang baik adalah masuk kerja dari sekian sampai jam sekian,
produktif, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tidak pernah bolos dan
sebagainya. Mekanisme, seperti jenjang karir, mengontrol dan mengidentifikasi
mana pekerja yang bagus dan berprestasi sehingga perlu diberi penghargaan, dan
mana pekerja yang tidak bagus sehingga perlu dihukum (dengan tidak menaikkan
pangkat atau gaji). Wacana seperti itu membentuk individu dan
mengklasifikasikannya dalam pekerja yang baik dan pekerja yang tidak baik.
A. Produksi Wacana
Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan, tetapi juga
struktur dan tata aturan dari wacana. Sebelum membahas mengenai struktur
diskursif, perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dengan
kenyataan. Realitas dipahami di sini sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk
melalui wacana. Realitas itu sendiri menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan
jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut.
Kita mempersepsi dan bagaimana kita
menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur
diskursif. Struktur diskursif ini, oleh
Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur
wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai system yang abstrak dan
tertutup.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam
batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana
dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling
dipercaya dan dipandang benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk
dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang
mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar dan yang lain tidak. Ini seperti kalau
kita mendengar kata film india, maka yang terbayang adalah film dengan nyanyian
sambil menari, dengan tokoh utama yang mengalahkan musuh birokrat atau pejabat
pemerintah dan kepolisian yang korup. Wacana tertentu membatasi pandangan
khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai
sesuatu yang benar. Atau dalam bahasa Macdonell, wacana itu merupakan suatu
arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang
berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana
dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di
sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak
diterima tentang suatu objek. Objek bisa
jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi
berubah. Contoh yang paling dramatis barangkali adalah bagaimana struktur
diskursif yang dibangun tentang PKI sebagai partai terlarang. Pada masa orde
lama partai ini adalah partai resmi bahkan masuk dalam lima besar partai yang
memperoleh suara terbanyak. Di masa orde baru, PKI justru menjadi partai terlarang
dengan berbagai keburukannya. Tidak ada yang berubah dari PKI ini (sebagai
objek), tetapi yang membuat ia terlarang adalah struktur diskursif yang secara
sengaja dibangun orde baru bahwa PKI ini partai yang suka memberontak dan
anti-tuhan. Wacana semacam ini membatasi lapangan pandangan sehingga ketika PKI
dibicarakan yang muncul adalah kategori PKI sebagai partai pemberontak dan
anti-Tuhan, bukan yang lain.
Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan gabungan dari peristiwa-peristiwa
tersebut dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dalam
prosesnya, kita mengkategorisasikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa
mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut kita sukar
keluar dari struktur diskursif yang
terbentuk. Struktur diskursif tersebut
adalah bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah
episteme, perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui
mana kebudayaan berpikir. Melalui episteme itu, kita mengerti dan memahami
suatu objek dengan pernyataan dan pandangan tertentu, dan tidak yang lain.
Unit-unit diskursif ini mengasumsikan koherensi dan kohesivitas sebagai suatu
ide. Sehingga kita bisa mengatakan sebagai
“pandangan orde baru” atau “pandangan orde lama”, dan sebagainya.
Misalnya, struktur diskursif
yang dibentuk oleh orde baru. Salah satu yang kuat adalah normalisasi.
Dalam praktik diskursif yang dibangun orde baru, agar pembangunan dapat
berjalan maka keadaan harus normal, stabil, yang memungkinkan terjadinya
pembangunan. Salah satu aspek yang harus ditata adalah partai politik, karena
partai politik adalah sumber konflik. Partai politik dalam sejarahnya selalu
egois, lebih mementingkan kepentingan partainya, sehingga pemerintahan tidak dapa
berjalan karena selalu ganti pemerintahan. Agar tidak terjadi demikian, sumber
konflik itu dibuat normal, ditata kembali sehingga partai politik tidak menjadi
penghalang kelangsungan pembangunan. Partai politik harus disederhanakan, dan
dibatasi geraknya. Struktur diskursif inilah yang dibangun oleh orde baru dan
disebarkan lewat pernyataan pidato dari pejabat pusat sampai daerah, lewat
buku-buku ajar sekolah, dan sebagainya. Bagaimana struktur diskursif ini
bekerja dapat dilihat dari bgaimana cara
berpikir kita didikte agar berpikir dan berpandangan dalam batas-batas yang
telah ditentukan oleh struktur diskursif, bukan dengan yang lain. Kalau
pemerintah menghendaki seseorang menjadi pemimpin partai tertentu, tindakan
tersebut tidak dilihat sebagai intervensi dan otoriterianisme tetapi upaya
menata kehidupan politik.
B.
Wacana terpinggirkan
Menurut Michel
Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan
wacana yang berfungsi membentuk melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam
suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macama
wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung
wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan
wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” (marginalized)
atau “terpendam” (submerged).
Ada dua konsekuensi
dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan
bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas
menjadi terhalang, karena ia memeberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai.
Pandangan dibatasi hanya dalam
batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua,
struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran.
Batas-batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi
juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap
kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri, menciptakan rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan
memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan
begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itu,
dalam analisis wacana kita perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu
hal diproduksi dan bagaimana repreduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen
dalam masyarakat. Misalnya kita akan
mengadakan analisis mengenai bagaimana wacana komunisme ditampilkan dalam
pemberitaan media. Pertama kali harus kita lakukan adalah melihat bagaimana
produksi kebenaran mengenai peristiwa komunisme itu dari berbagai kelompok.
Yang dilihat dalam analisis wacana bukanlah apa yang sebenarnya terjadi, tetapi
bagaimana setiap kelompok, terutama yang terutama yang berkuasa, memproduksi
kebenaran atas suatu wacana. Produksi kebenaran wacana itu terutama akan
disebarkan dengan berbagai organ yang dia punyai.
Dalam produksi makna
ini, kadang-kadang kita secara tidak sadar ikut memproduksi wacana yang
tersedia. Misalnya mengenai debat kehadiran pasukan Interfet di Timor Timur
pasca-jajak pendapat. Wacan yang berkembang (dan dikembangkan) adalah
nasionalisme dan tidak nasionalisme kehadiran pasukan asing tersebut tidak
perlu hadir di Timor Timur. Disatu sisi ada pandangan pasukan asing tersebut
tidak perlu hadir di Timor Timur. Kehadiran pasukan asing tersebut menyinggung
harga diri bangsa Indonesia, karena menganggap militer Indonesia tidak mampu
menyelesaikan masalah. Pasukan asing tersebut juga mengyinggung harga diri
bangsa Indonesia karena sampai saat itu Timor Timur masih wilayah sah
Indonesia. Disisi lain ada pandangan yang menyatakan pasukan asing tersebut
boleh dan harus hadir di Indonesia. Karena masalah Timor Timur bukanlah masalah
murni Indonesia, tetapi sudah menjadi masalah internasional. Oleh karena itu,
memakai klaim nasionalisme tidak bisa dilakukan, karena keamanan Tiomr Timur
pasca-jajak pendapat juga menjadi masalah onternasional.
Kalau dilihat
perdebatan mengenai perlu atau tidaknya kehadiran pasukan asing tersebut, baik
yang pro maupun kontra, keduanya didasarkan pada wacana yang bersumber dari
nasionalisme. Yang setuju menggunakan klaim tersebut, demikian juga yang
kontra. Secara tidak sengaja dan tanpa disadari, partisipan dari wacana ini
termasuk wacana yang mengemuka didominasi oleh wacana nasionalistik. Medan
pikir dan wacana kita seakan dibatasi hanya melihat kehadiran pasukan Interfet
tersebut pada masalah nasionalisme. Apa wacana yang terpendam atau
terpinggirkan dari wacana mengenai kehadiran tentara In terfet ini? Pertama,
yang paling utama adalah masalah kemanusiaan. Tidak banyak dikemukakan di sini
adalah kekerasan yang menyelimuti Timor Timur. Puluhan orang yang meninggal,
rumah yang terbakar, dan ribuan pengungsi adalah wacana yang seharusnya juga
bisa dikemukakan sebagai argumentasi perlu tidaknya kehadiran pasukan asing di
Timor Timur tersebut.
Proses
terpinggirkannya wacana dalam proses
pmberitaan ini membawa beberapa implikasi. Pertama khalayak tidak diberi
kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut
mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang
terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena
tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak
lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi.
Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan,
kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana
tertentu. Rasialisme muncul lewat wacana yang berkembang yang menganggap orang
kulit hitam sebagai warga kelas dua, identik dengan kemalasan, kriminalitas, dan obat bius.
Wanita juga termajinalkan lewat terbentuknya wacana dominan bahwa mereka lemah,
di bawah laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya.
Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana:
Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang.